Selasa, 10 Juli 2012

Manajemen Nyeri Persalinan Non Farmakologis



Persalinan suatu proses membuka dan menipisnya serviks serta terjadi kontraksi uterus sehingga menyebabkan nyeri pada proses persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh Niven dan Gijsbers (1984) bertujuan untuk melihat perbandingan intensitas nyeri persalinan dengan nyeri lain diperoleh hasil bahwa nyeri persalinan melebihi sindrom nyeri lain seperti, 88%  dari 73 penderita nyeri tungkai menerima intervensi farmakologis, 76% dari sampel (n=200) mengalami nyeri punggung selama kehamilan dengan insiden puncak pada usia kehamilan 24-28 minggu yang mengganggu aktivitas normal ibu, maka nyeri harus diberi intervensi metode pengendali nyeri demi kenyamanan dan keringanan si penderita (Mander R., 2003, hal. 140).
Nyeri adalah proses alamiah dalam persalinan. Apabila tidak diatasi dengan baik akan menimbulkan masalah lain yaitu meningkatnya kecemasan karena kurangnya pengetahuan dan belum ada pengalaman pada ibu primigravida saat menghadapi persalinan sehingga produksi hormon adrenalin meningkat dan mengakibatkan  vasokonstriksi  yang menyebabkan aliran darah ibu ke janin menurun. Janin akan mengalami hipoksia sedangkan ibu akan mengalami persalinan lama dan dapat meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik.
Rasa nyeri selama persalinan akan berbeda satu dengan lainnya. Hal ini tergantung dari mekanisme koping seseorang dan juga banyak faktor yang mempengaruhi persepsi rasa nyeri: diantaranya pengetahuan ibu tentang rasa takut dan rasa nyeri yang dirasakan, cemas, jumlah kelahiran sebelumnya, presentasi janin, budaya melahirkan, posisi saat melahirkan, dukungan dan setuhan keluarga atau suami, serta sumber informasi yang terpenting untuk ibu. Tingkat beta-endorphin, kontraksi rahim yang intens selama persalinan dan ambang nyeri alami dan sentuhan yang di berikan oleh seorang penolong.
Departemen WHO Membuat Kehamilan Lebih Aman (MPS) yang pada dasarnya  menekankan pada penyediaan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang terampil untuk mengurangi angka kematian bayi dan kematian ibu secara signifikan pada tahun 2015 dengan diteksi dini, antenatal care, penatalaksanaan persalinan dan nifas yang baik (WHO, 2010, ¶ 1). Pada masyarakat primitif, persalinan lebih lama dan nyeri, sedangkan masyarakat yang telah maju 7-14% bersalin tanpa rasa nyeri dan sebagian besar (90%) persalinan disertai rasa nyeri (Prawirohardjo, S., 2005).


Manajemen nyeri persalinan dapat diterapkan secara non farmakologis dan farmakologis. Pendekatan secara non farmakologis tanpa penggunaan obat-obatan seperti relaksasi, masase, akupresur, akupunktur, kompres panas atau dingin dan aromaterapi, sedangkan secara farmakologis melalui penggunaan obat-obatan. Manajemen nyeri non farmakologis lebih aman, sederhana dan tidak menimbulkan efek merugikan serta mengacu kepada asuhan sayang ibu, dibandingkan dengan metode farmakologi yang berpotensi mempunyai efek yang merugikan. Penelitian Sylvia T Brown (2001) yang bertujuan untuk melihat pengaruh metode nonfarmakologi terhadap penurunan intensitas nyeri persalinan dengan 10 metode nonfarmakologi yang dilakukan pada 46 orang sampel diperolah hasil bahwa teknik pernapasan, relaksasi, akupresur, masase merupakan teknik paling efektif menurunkan nyeri saat persalinan (Arifin, L., 2008, ¶ 2). Tubuh memiliki pereda nyeri alamiah yaitu  endorphin.  Endorpin bisa diperoleh dengan masase (Nolan, 2003). Masase adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak tanpa menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi untuk meredakan nyeri. Hanya 19,3% wanita mendapat masase untuk meredakan nyeri dan hanya 5% bidan dilaporkan menggunakan metode ini bagi wanita secara individu. Ketidaksesuaian ini berlawanan dengan pemberian obat seperti petidin, yang dilaporkan 37,8 % oleh bidan (Mander, R., 2003, hal. 163).
Dalam persalinan, masase membantu ibu lebih rileks dan nyaman selama persalinan. Ibu yang yang di masase 20 menit setiap jam selama tahapan persalinan yang dilakukan oleh petugas kesehatan, keluarga pasien ataupun pasien itu sendiri akan lebih bebas dari rasa sakit, karena masase meransang tubuh melepaskan senyawa endorphin.
Penatalaksanaan kebidanan terhadap nyeri persalinan digali dengan menggunakan sampel sebanyak 4171 pasien yang mengalami kelahiran di rumah sakit yang ditolong oleh perawat-bidan pada sembilan rumah sakit di Amerika Serikat tahun 1996. Kira-kira 90% dari wanita yang bersalin yang dipilih menggunakan beberapa tipe penatalaksanaan nyeri untuk persalinan. Banyak memilih melalui susunan metode nonfarmakologis dengan atau tanpa farmakologis. Sesuai harapan, metode nonfarmakologis adalah pilihan yang disukai (Patree & Walsh, 2007). Berdasarkan pendapat Steer dikutip dari Mander, (2003). Relaksasi adalah metode pengendalian nyeri nonfarmakologi yang paling sering digunakan di Inggris. Steer melaporkan bahwa 34 % ibu menggunakan metode relaksasi. Frekuensi ini sedikit ketinggalan dengan penggunaan Etonox (60%), tetapi tidak terlalu jauh berada di belakang metode yang kedua yang paling sering digunakan yaitu petidin (36,9%)




PUSTAKA


Danuatmaja,& Meiliasari. (2004). Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit.  
             Jakarta: Puspa Swara.




Nursalam. 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.


Rosemary Mander. 2003. Nyeri Persalinan. Jakarta: EGC





Sabtu, 07 Juli 2012

Keberhasilan Laktasi Atau Menyusui


Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, tidak satupun makanan lain yang dapat menggunakan ASI, karena ASI mempunyai kelebihan yang meliputi tiga aspek yaitu aspek gizi, aspek kekebalan dan aspek kejiwaan berupa jalinan kasih sayang penting untuk perkembangan mental kecerdasan anak (Depkes RI, 2005).
Menyusui adalah suatu proses ilmiah. Berjuta-juta ibu di seluruh dunia berhasil menyusui bayinya tanpa pernah membaca buku tentang ASI bahkan ibu yang buta huruf pun dapat menyusui anaknya dengan baik. Walaupun demikian dalam lingkungan kebudayaan kita saat ini melakukan hal yang alamiah tidaklah selalu mudah (Utami Roesli, 2009).
Teknik menyusui merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi ASI dimana bila teknik menyusui tidak benar, dapat menyebabkan puting susu lecet dan menjadikan ibu enggan menyusui sehingga bayi tersebut jarang menyusu. Enggan menyusu akan berakibat kurang baik, karena isapan bayi sangat berpengaruh pada rangsangan produksi ASI selanjutnya. Namun sering kali ibu- ibu kurang mendapatkan informasi tentang manfaat ASI dan tentang menyusui yang benar (Utami Roesli, 2005). Menurut Maribeth Hasselqist (2006) Kendala terhadap pemberian ASI telah teridentifikasi, hal ini mencakup faktor-faktor seperti kurangnya informasi dari pihak perawat kesehatan bayi, praktik-praktik rumah sakit yang merugikan seperti pemberian susu formula dan suplemen bayi tanpa kebutuhan medis, kurangnya perawatan tindak lanjut pada periode pasca kelahiran dini, kurangnya dukungan dari masyarakat luas. Kegagalan dalam proses menyusui sering disebabkan karena timbulnya beberapa masalah, baik masalah pada ibu maupun bayi. Pada sebagian ibu yang tidak paham tentang cara menyusui yang benar, kegagalan menyusui sering dianggap sebagai problem pada anaknya saja. Selain itu ibu sering mengeluh bayinya sering menangis atau “menolak” menyusu, dan sebagainya yang sering diartikan bahwa ASI nya tidak cukup, atau ASI nya tidak enak, tidak baik ataupun pendapatnya sehingga sering menyebabkan diambilnya keputusan untuk menghentikan menyusui. Pada bayi masalah dalam menyusui yaitu sering menjadi “bingung puting” atau sering menangis, BB bayi turun, bahkan bisa menyebabkan bayi kuning (ikterik) karena bayi tidak mendapatkan ASI yang cukup. Dampak dari teknik menyusui yang salah pada ibu yaitu ibu akan mengalami gangguan proses fisiologis setelah melahirkan, seperti puting susu lecet dan nyeri, payudara bengkak bahkan bisa sampai terjadi mastitis atau abses payudara dan sebagainya (Suradi dan Hesti, 2004). United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan bukti ilmiah yang dikeluarkan oleh jurnal pediatric thun 2006, terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya dan peluang itu 25 kali lebih tinggi daripada bayi yang disusui ibunya secara eksklusif. Menurut UNICEF faktor penghambat terbentuknya kesadaran orang tua dalam memberikan ASI eksklusif adalah ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara atau teknik menyusui yang benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh produsen susu (UNICEF,2008). Berdasarkan data yang diperoleh dari profil kesehatan kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 menargetkan pencapaian ASI eksklusif adalah sebanyak 55%. Pada kenyataanya, data yang tercatat menunjukkan cakupan pemberian ASI eksklusif sekitar (40,21%) dan Kabupaten Rembang merupakan cakupan ASI esklusif terendah ke-6 berjumlah 606 (12,93%) dari 36 Kabupaten (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Semarang, 2009). Data yang didapatkan di kabupaaten Rembang pada tahun 2010 sebesar (39,29%) masih belumhasil penelitian Winarno (1990), menggolongkan bahwa berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan laktasi yaitu, faktor ibu 39,7%, faktor bayi 36,7%, teknik menyusui 22,1%, faktor anatomis payudara 1,5%. Pada dasranya gangguan laktasi tersebut dapaat dicegah dan diatasi sehingga tidak menimbulkan kesukaran. Suatu contoh kasus misalnya sekitar 57% dari ibu menyusui menderita kelecetan putingnya. Hasil penelitian Dewi Masitoh (2009) bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu post partum primipara dengan teknik menyusui yang benar menunjukkan 42 responden didapatkan responden yang berpendidikan dasar (SD,SMP) sebanyak 8 responden (19%), yang berpendidikan tinggi sebanyak 2 responden (4,8%) dan sebagian besar responden berpendidikan menengah (SMA) yaitu sebanyak 32 (76,2%). Sedangkan untuk tingkat pengetahuan 15 responden (35,7%) berpengetahuan baik, 16 responden (38,1%) berpengetahuan kurang. Praktik menyusui ibu dengan kategori baik sebanyak 26 responden (61,9%) dan kategori tidak baik sebanyak 16 responden (38,1%). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Mei 2011 terhadap 10 ibu menyusui (0-6 bulan) di Desa Leteh yaitu 8 (80%) ibu menyusui mengalami puting susu lecet dan2 (20%) ibu menyusui tidak mengalami puting susu lecet sedangkan 7 (70%) ibu menyusui tidak mengetahui tentang teknik menyusui yang benar dan 3 (30%) ibu menyusui mengetahui tentang teknik menyusui yang benar dan 6 (60%) berpendidikan lulus SMA, 2 (20%) lulusan SD dan 3 (30%) Perguruan Tinggi serta 7 (70%) serta ibu tidak bekerja dan 3 (30%) ibu bekerja. Tingkatan pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberikan respon. Semakin ibu yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang ada, sebaliknya ibu yang berpendidikan rendah maka akan memberikan respon masa bodoh terhadap informasi. Dengan pendidikan yang rendah baik secara formal maupun informal meyebabkan ibu kurang memahami tentang teknik menyusui yang benar (Notoadmojo, 2003).
Pekerjaan ibu akan berpengaruh terhadap cara menyusui yang benar dikarenakan ibu yang bekerja akan mempunyai waktu yang sempit untuk menyusui anaknya sehingga ibu tidak terlalu memperhatikan perawatan terhadap bayinya dan kurangnya kesabaran dalam menyusui bayinya maka kegagalan dalam proses menyusui sering terjadi (Utami Roesli, 2005).
Pengetahuan ibu tentang teknik menyusui yang benar sangat penting sebab dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langsung diterima dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2003).